Rabu, 28 September 2016

Rifqinizamy Karsayuda; Kegalauan Pemerintah Daerah

Yang menarik dari sebuah demokrasi adalah pemilihan daerah. Masih ingat betul pada pada 12 Pebruari 2016 lalu, Presiden RI, Joko Widodo melantik Gubenur secara serentak. Dan Para Bupati/Walikota dan Wakilnya dilantik oleh Gubernur masing-masing Provinsi pada 17 Pebruari 2016 lalu. Mereka kita hasilkan dari Pilkada Langsung dan serentak pada 9 Desember 2015 lalu. Kini pilkada serentak akan segera dimulai pada tahun 2017.

Rifqinizamy Karsayuda; Kegalauan Pemerintah Daerah
Rifqinizamy Karsayuda; Kegalauan Pemerintah Daerah 


Ada yang menarik dari tulisan Rifqinizamy Karsayuda, Kepala Pusat Studi Ketatanegaraan dan Otonomi Daerah, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan dengan judul bertahta minus kuasa. Dimama pilkada langsung memiliki konsekuensi yaitu setiap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam penalarn yang wajar, terlebih dahulu harus membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat yang kemudian mayoritas memilih mereka pada hari pemilihan. Dalam komunikasi yang terbangun dengan publik itu, setiap Kepala Daerah pastilah memiliki janji-janji politik kepada masyarakatnya.

Biasanya janji politik itu termaktub dalam visi, misi dan program calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dimana visi misi ini sudah diatur dalam  UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menempatkan keberadaan visi, misi dan program tersebut sebagai syarat pendaftaraan pasangaan kepala daerah dan wakil kepala daerah ke KPU setempat. Bahkan visi misi inilah yang menjadi acuan dalam penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). ‘’RPJMD sendiri adalah produk hukum yang akan ditindaklanjuti melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya,’’ kata Rifqinizamy Karsayuda

Ironis kepala Daerah

Lagi-lagi masalah klasik di indonesia adalah kesulitannya kepala Daerah untuk mengeksekusi semua visi misinya, karena terbentur dengan program kerja pemerintah daerah sebelumnya. Hal ini terkait dengan dana anggaran, sebab anggaran telah ditetapkan oleh rezim sebelumnya. Ironi seperti ini mengulang setiap  5 tahun. Beruntung bagi pemerintah yang bisa kepilih du periode karena ia benar-benar bisa mewujudkan vidi dan misinya.

Hal ini di amini oleh Rifqinizamy Karsayuda, bahwa Kendati dalam logika pembangunan daerah tidak dikenal dikotomi pembangunan berdasarkan siapa yang berkuasa, namun keadaan ini membuat para kepala daerah baru ini tak dapat secara serta merta memasukkan janji-janji politiknya sebagai bagian perencanaan pembangunan di daerahnya.

Melakukan perubahan APBD

Khusus mengenai keinginan segera membahas dan mengesahkan APBD Perubahan 2016 tentu akan menjadi hal kurang jamak di birokrasi pemerintahan daerah kita. Sebab, lazimnya perubahan APBD baru dilakukan di sekitar bulan Juli-Agustus. Itupun materi perubahan anggarannya biasanya tak terlalu signifikan merubah program yang telah disusun dalam APBD murni sebelumnya.

Soal praktek mempercepat anggaran perubahan ini, Presiden Jokowi pernah melakukannya pada awal tahun 2015 lalu. Dilantik pada oktober 2014, Jokowi “dipaksa” menggunakan APBN 2015 yang telah dibahas dan disetujui Pemerintah (dibawah Presiden SBY) dan DPR. Akibatnya, banyak janji politik Jokowi terhalang lantaran ia tak bisa memasukkan program itu sebagai program pembangunan nasional dan APBN 2015.

Kala itu, menurut Rifqinizamy Karsayuda Presiden Jokowi berhasil meyakinkan DPR untuk memutuskan APBN 2015 pada bulan Maret 2015. Hasilnya, beberapa program prioritas pemerintahannya seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat bisa digulirkan dan dibiayai oleh APBN Perubahan 2015 itu.
Menurut Rifqinizamy Karsayuda, Pola serupa semestinya bisa diadopsi pada wilayah pemerintahan daerah yang baru terbentuk. Kendala yang akan dihadapi tentu soal kesiapan birokrasi untuk bekerja cepat, secepat kehendak kepala daerahnya mewujudkan janji-janji politiknya. Pada wilayah lain, kepemimpinan dan pola komunikasi sang kepala daerah tentu akan dipertaruhkan, bukan hanya pada birokrasi yang notabene adalah sub-ordinatnya, melainkan juga kemampuan membangun komunikasi politik dengan mayoritas anggota DPRD setempat.

Perubahan dan dampak terhadap Masyarakat

Akan tetapi perubahan APBD dan visi misi sebenarnya juga ironi bagi masyarakat. Karena bisa jadi program baik rezim sebelumnya malah terlunta lunta. Begitu juga misalnya program pembangunan, jika dana pembangunan itu di pangkas oleh pemerintah yang terpilih maka akan terlunta-lunta. Oleh karenanya, pemerintah yang baru perlu mengkomunikasikan dan benar-benar menyesuaikan visi dan misi pemerintahan sebelumnya. Agar uang negara tidak terkesan dihambur-hamburkan dan masyarakat merasakan manfaatnya.

Senin, 26 September 2016

Rifqinizamy Karsayuda; Memilih Jalan Hidup Sebagai Penerjemah

Apakah benar profesi sebagai penerjemah itu identik dengan profesi intelek yang kadung diasosiasikan dengan tingkat pendidikan tinggi. Benarkah seperti itu? Sayang sekali jika pemeo lama tersebut masih dipegang. Padahal profesi ini sangat menjanjikan sebagai suatu karir atau bisnis. Bahkan bisa menjadi ladang peluang usaha.


Menurut Rifqinizamy Karsayuda, salah seorang penerjemah lepas asal Jakarta (lulusan UI) dalam jurnalnya, untuk berkarier sebagai penerjemah kita tidak memerlukan lisensi atau sertifikasi tertentu. Sebagai penerjemah, keterampilan adalah yang dibutuhkan. Bukan gelar pendidikan atau nilai TOEFL (Test of English as Foreign Language) atau apakah sudah pernah tinggal di luar negeri untuk beberapa lama. Bukti keterampilan itu terletak pada hasil terjemahan.

Jika sudah pernah bermukim di luar negeri tetapi hasil terjemahannya belepotan ya tetap saja kita tidak dapat menjadi penerjemah. Sebaliknya, meskipun kita belajar bahasa secara otodidak, misalnya, asalkan hasil terjemahannya bagus tentu klien atau penerbit akan dengan senang hati memberikan order kepada kita.

Rifqinizamy seorang penerjemah buku-buku sastra yang sudah menerjemahkan lebih dari 50 buku dalam wawancaranya dengan harian Pikiran Rakyat, Bandung, mengaku belajar menerjemahkan secara otodidak. Lulusan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini tertarik menerjemahkan karena awalnya suka membaca buku-buku sastra berbahasa Inggris. “Saya meningkatkan kemampuan diri dengan banyak membaca, belajar dari kamus dan referensi lainnya,” ujar penerjemah yang salah satu karya terjemahannya adalah novel Les Miserables edisi bahasa Inggris karya Victor Hugo.

Karena menurut Karsayuda, terlepas dari apakah penerjemah itu berpendidikan formal atau belajar otodidak, yang penting adalah apakah sang penerjemah mau belajar lagi atau tidak. Seorang penerjemah sekalipun lulusan Sastra Inggris jika tidak mau belajar akan ketinggalan dibandingkan penerjemah yang belajar otodidak tetapi mau terus belajar.

Nah, ada dua jenis ‘makhluk’ penerjemah di dunia ini. Pertama, translator (penerjemah tulisan), yakni penerjemah yang menerjemahkan dokumen tertulis seperti script, dokumen kontrak, naskah buku dll, dan yang kedua, interpreter (penerjemah lisan) yang dalam istilah resmi Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) disebut sebagai ‘jurubahasa’. Makhluk yang kedua ini bertugas menerjemahkan komunikasi verbal atau lisan baik antara dua orang atau banyak orang, misalnya, dalam seminar atau konferensi.

salam Rifqinizamy Karsayuda

Rifqinizamy Karsayuda; memilih Jalan Hidup Sebagai Penerjemah

Apakah benar profesi sebagai penerjemah itu identik dengan profesi intelek yang kadung diasosiasikan dengan tingkat pendidikan tinggi. Benarkah seperti itu? Sayang sekali jika pemeo lama tersebut masih dipegang. Padahal profesi ini sangat menjanjikan sebagai suatu karir atau bisnis. Bahkan bisa menjadi ladang peluang usaha.


Menurut Rifqinizamy Karsayuda, salah seorang penerjemah lepas asal Jakarta (lulusan UI) dalam jurnalnya, untuk berkarier sebagai penerjemah kita tidak memerlukan lisensi atau sertifikasi tertentu. Sebagai penerjemah, keterampilan adalah yang dibutuhkan. Bukan gelar pendidikan atau nilai TOEFL (Test of English as Foreign Language) atau apakah sudah pernah tinggal di luar negeri untuk beberapa lama. Bukti keterampilan itu terletak pada hasil terjemahan.

Jika sudah pernah bermukim di luar negeri tetapi hasil terjemahannya belepotan ya tetap saja kita tidak dapat menjadi penerjemah. Sebaliknya, meskipun kita belajar bahasa secara otodidak, misalnya, asalkan hasil terjemahannya bagus tentu klien atau penerbit akan dengan senang hati memberikan order kepada kita.

Rifqinizamy seorang penerjemah buku-buku sastra yang sudah menerjemahkan lebih dari 50 buku dalam wawancaranya dengan harian Pikiran Rakyat, Bandung, mengaku belajar menerjemahkan secara otodidak. Lulusan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini tertarik menerjemahkan karena awalnya suka membaca buku-buku sastra berbahasa Inggris. “Saya meningkatkan kemampuan diri dengan banyak membaca, belajar dari kamus dan referensi lainnya,” ujar penerjemah yang salah satu karya terjemahannya adalah novel Les Miserables edisi bahasa Inggris karya Victor Hugo.

Karena menurut Karsayuda, terlepas dari apakah penerjemah itu berpendidikan formal atau belajar otodidak, yang penting adalah apakah sang penerjemah mau belajar lagi atau tidak. Seorang penerjemah sekalipun lulusan Sastra Inggris jika tidak mau belajar akan ketinggalan dibandingkan penerjemah yang belajar otodidak tetapi mau terus belajar.


Nah, ada dua jenis ‘makhluk’ penerjemah di dunia ini. Pertama, translator (penerjemah tulisan), yakni penerjemah yang menerjemahkan dokumen tertulis seperti script, dokumen kontrak, naskah buku dll, dan yang kedua, interpreter (penerjemah lisan) yang dalam istilah resmi Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) disebut sebagai ‘jurubahasa’. Makhluk yang kedua ini bertugas menerjemahkan komunikasi verbal atau lisan baik antara dua orang atau banyak orang, misalnya, dalam seminar atau konferensi.